Selasa 02 February 2010.
Rekan Baruku
Matahari senja mulai meredup ketika ku nyalakan mesin motorku, deru motorku seakan memberiku keyakinan bahwa dia tidak sabar untuk membawaku berlari memacu adrenaline melintasi jalan pulang yang berkelok dan sempit menuju rumahku.
Namun sore itu aku kehilangan mod untuk menjadi “valentino Rossi”,ku ingin menikmati perjalanan pulang dengan kalem, seiring dengan senja yang meredup.ku kendarai motorku dengan perlahan…ku dengar motorku berjalan dengan tak sabar…maklum kami biasa melesak kencang bak di kejar anjing..namun saat ini melengang dengan angun , 5 menit kemudian aku tengelam dalam keasyikanku meluncur di aspal licin kotaku meliuk perlahan tak peduli dengan godaan kendaraan lain yang seakan menari nari mengajak kami mengadu nyali.
Setelah hampir 20 menit aku tengelam dalam lalulintas yang padat… tibalah aku di salah satu sudut kotaku dekat pasar….
Janjiku hari ini adalah bertemu dengan temanku “boci” anak yali dari kurima, tapi karena aku tidak tahu jalan maka dengan sedikit kelihaian pembalap aku menarik hanphoneku dari tas pinggangku dan dengan lincah kuketik nomor telpon temanku…”hai boci ini aku” ujarku setengah berteriak menyaingi keributan jalan, “oh eh kk, iyo ini boci, kk jadi datang k?”suara gugup Boas(biasa d pangil boci) di sebrang sana….”yoi too , baru kam posisi d?” sahutku dengan logat bahasa setempat, kami sempat sedikit binggung karena ternyata tempat tinggal boci cukup tersembunyi , dia tinggal di rumah susun kayu di belakang smu 5 dekat pasar di kotaku…, namun tidak lama kemudian aku berhasil menemui boci yang ternyata telah menunggu kehadiran kami d mata jalan dekat gang menuju rumahnya..
Aku tak sabar untuk segera tiba di rumah boci karena penat bermotor mulai mendera, ternyata rumah boci harus masuk ke dalam mendekati perkebunan kampung setempat 40m dari jalan utama. Dengan jalan tanah liat yang cukup sempit. Untungnya motorku cukup berat sehingga bisa stabil melewatinya walau dengan sedikit kehati-hatian.
Aku jujur terkejut melihat rumah boci yang jauh dari perkiraan …boci tinggal di sebuah rumah susun seperti barak tentara yang jauh dari standard sederhana, bentuk rumah yang semi permanen dua lantai dengan bahan dasar kayu, sungguh sulit d bayangkan, dengan beratap seng dan rendah saya hakul yakin siang hari pastinya sangat panas menyengat. Rumah susun ini sendiri terdiri dari 2 bangunan berhadap-hadapan, bercampur dengan kandang babi di salah satu sudutnya dan di tinggali oleh kurang lebih 20 keluarga…( aku cukup kaget rumah kayu dengan kondisi kurang dari kata layak.. di hargai 600ribu sebulan).
Boci tampak senang dan sibuk menelepon rekannya dari handphone yang saya pinjamkan, dia berusaha menghubungi rekannya untuk datang bertemu aku, aku sendiri tidak peduli karena aku tengah menikmati suasana sore yang ada di tempat boci, bau tanah dan rumput amat segar bercampur dengan bau khas rumah kayu yang kumuh, suara anak anak renyah ada di mana mana, mereka bermain layangan di lapangan depan kompleks perumahan susun ini.sesekali terdengar para tetangga berceloteh menceritakan tentang keberhasilan dan kemasgulan yang mereka dapati hari ini.
Tak berapa lama dua rekan Boci berdatangan, mereka tampak antusias, sepertinya aku tamu pertama mereka di awal tahun ini, setelah salam perkenalan kami mulai terlibat dalam pembicaraan yang hangat kental dengan persahabatan walau tanpa segelas kopi kental....hmmmm rumah sempit ini ternyata memiliki banyak kehidupan dengan berbagai suka maupun duka..di antara pembicaraan hangat ini aku merenungkan ...aku memikirkan keberadaan mereka, Rekan baru aku bercerita banyak sekitar kampung mereka, ternyata mereka dari kampung dekat kurima mereka dari suku yali, satu suku dekat lembah baliem. wow saya senang bertemu dengan mereka... mereka adalah Heri dan Trius serta Boas atau "boci". kesederhanaan mereka dalam menyambut saya memberi kesan hangat dan terbuka. sesekali tetangga datang menengok ke arah pintu ruang tamu yang sengaja tidak tertutup entah sengaja mereka mencari korek api ( sungguh pengalaman lama, tetangga berkunjung hanya untuk meminjam korek seharga seribu rupiah dan di rumah itu mereka tidak memilikinya pula) atau hanya ingin tau siapa tamu yang jarang berkunjung ke rumah lusuh mereka ini.
Sungguh saya menyukai tempat ini, mengingatkanku kembali dari mana aku berasal, kaum proletar yang sering terlupakan.